




Judul Fatmawati Sukarno; The First Lady
Penulis Arifin Suryo Nugroho Penerbit Ombak, Yogyakarta
Tahun I, 2010
Tebal xx + 278 halaman
Harga Rp 60.000
Sang Dwiwarna, Merah Putih, merupakan bendera Indonesia yang mengidentitaskan kebang-sanegaraannya. Lebih dari itu, bendera yang bermakna semiotik-filosofis berani dan suci itu menjadi sebuah lambang kebanggaan warga negara Indonesia. Sejarah kemerdekaan Indonesia pun terukir di balik warna merah dan putih tersebut. Sejarah kemerdekaan Indonesia tecermin pula pada penjanjian bendera pusaka tersebut.
Adalah Fatmawati, seorang perempuan Indonesia yang menjahit bendera tersebut sehingga pada 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia dimeriahkan dengan pengibaran bendera. Meskipun bendera tersebut tidak sesuai dengan standar ukuran bendera yang seharusnya, kain dua warna yang terjahit menjadi satu itu kemudian menjadi bendera yang sangat disakralkan oleh bangsa Indonesia. Nama Fatmawati pun tercatat dalam sejarah sebagai wanita penjahit bendera pusaka.
Arifin Suryo Nugroho, melalui bukunya berjudul Fatmawati Sukarno; The First Lady, menguraikan biografi sang penjahit bendera tersebut dengan ulasan yang menarik. Fatmawati, seorang wanita asli Indonesia yang telah berjasa menjahit bendera pusaka tersebut, merupakan perempuan penting dalam sejarah kemer-dekaan Indonesia.
Fatmawati sebagai ibu negara setelah Soekarno dipilih menjadi presiden Indonesia yang pertama, dengan setia mendampingi sang suami tersebut. Hingga akhirnya, prahara rumah tangga pun terjadi. Kehadiran Hartini telah mengguncang rumah tangga Soekarno-Fatmawati. Hingga akhirnya Fatmawati memilih keluar dari istana dan hidup menyendiri tanpa Soekarno. Meski demikian, cinta Fatmawati terhadap Soekarno tidaklah sirna. Begitu juga dengan cinta Soekarno kepada Fatmawati, hanya saja telah terbelah kepada Hartini yang kemudian menyusul Haryati, Yurike, dan Naoko Nemoto atau Ratna Sari Dewi.
Semenjak itu, Fatmawati hidup tanpa sosok suami di dalam rumahnya meskipun status perikahannya belumlah terputus atau diceraikan. Namun, Fatmawati yang bersikap an-tipoligami tetap berkeras kepala untuk tidak kembali lagi ke istana. Hingga akhirnya situasi politik di Indonesia pun kacau dan banyak fitnah.
Soekarno sebagai presiden pikirannya terforsir oleh situasi politik yang kacau tersebut sehingga sangat menyibukkan dirinya. Kekacauan itu melonjak pada klimaksnya ketika Soekarno dikudeta oleh Soeharto dengan legitimasi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Mulai saat itu, kesehatan Soekarno pun terus menurun dan mengantarkannya ke gerbang ajal.
Kepergian Soekarno menjadi tekanan dan pukulan bagi Fatmawati. Meskipun cinta Soekarno telah terbelah, Fatmawati masih menaruh rasa cinta pada sang proklamator kemerdekaan Indonesia tersebut. Dengan membaca buku ini, pembaca diajak untuk mengulas biografi Fatmawati yang pernah men]adifirst lady di Indonesia. Dari biografi tersebut, banyak pelajaran yang dapat diambil tentang sosok Fatmawati dan selebihnya sejarah Indonesia dari masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga setelah kemerdekaan. Selain itu, para pembaca akan dikenalkan dengan sejarah Indonesia yang dibaca dari sisi Fatmawati sebagai pemeran utamanya.
Peresensi adalah Supriyadi,pengamat sosial pada Fakultas Tarbiyah Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Meminjam perhiasan milik istri sekretaris negara saat melakukan kunjungan kenegaraan.
Persiapan kemerdekaan di rumah Soekarno penuh dengan keterbatasan, misalnya perlengkapan. Kejar-mengejar dengan Jepang, yang kalah perang, membuat pejuang saat itu panik sehingga tak sempat memikirkan hal-hal kecil, salah satunya menyiapkan bendera merah putih. Ceritanya, saat naskah proklamasi akan dibacakan, para pemuda kebingungan mencari bendera. Kegaduhan ini didengar Fatmawati yang saat itu sedang melangkah keluar di dekat pintu. Langkahnya pun berbelok menuju kamarnya untuk mengambil bendera. Kain berwarna merah putih itu ia berikan kepada seseorang yang berdiri di depan kamarnya.
Jasa Fatma tidak sekadar menjahit bendera. Sebagai ibu negara pertama Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan first lady, dia harus mendampingi Bung Karno menjalin lobi dengan negara-negara lain. Tak jarang ia melakukan sesuatu untuk mengisi acara dalam kunjungan kenegaraan. Salah satunya, ketika berkunjung ke Pakistan, Fatma, yang pandai membaca Al-Quran, melantunkan ayat-ayat suci dalam salah satu perjamuan.Bertemu dengan para pemimpin negara lain, Fatma ingin tampil layaknya ibu negara. Saat melakukan kunjungan ke India, Fatma meminjam perhiasan istri sekretaris negara. Keadaan saat itu memang memprihatinkan, tapi Fatma berusaha semampunya memerankan posisi ibu negara. Istri ketiga Bung Karno itu juga kerap memasak untuk tamu-tamu negara. Salah satunya ketika menjamu Presiden Amerika Serikat FYanklin D. Roosevelt. Ibu Negara Abang Sam saat itu, Eleanor Roosevelt, memuji sate ayam buatan Fatma.
Fatma lahir di Pasar Malro, Bengkulu, 5 Februari 1923. Dia anak Hassan Din dan Siti Chadijah, keduanya aktivis Muhammadiyah. Hassan lebih dulu kenal Bung Karno. Ceritanya, ketika Bung Karno diasingkan ke Bengkulu, Hassan melobi Bung Karno untuk mengajar di sekolah Muhammadiyah. Tawaran itu diterima sampai akhirnya Fatma diangkat menjadi anak angkat Bung Karno dan Inggit, istrinya.Saat Fatma akan dilamar oleh seorang pemuda, dia meminta pertimbangan kepada Bung Karno. Namun bukan nasihat yang didapatkan, melainkan ungkapan rasa cinta Bung Karno kepada Fatma. "Fat, terpaksa aku mengeluarkan perasaan hatiku padamu. Begini Fat. Seharusnya aku sudah lama jatuh cinta padamu sejak pertama kali aku bertemu denganmu, waktu kau ke rumahku dahulu pertama kali," begitu diucapkan Bung Karno.
Rupanya Fatma menaruh perasaan yang sama kepada proklamator itu. Perbedaan usia yang jauh tidak membuat keduanya meredam rasa cinta. Situasi itu memicu pertengkaran Bung Karno dengan Inggit, yang kemudian berakhir dengan perceraian. Selanjutnya, Bung Karno menikahi Fatma. Tapi ia tidak hadir langsung saat akad nikah itu di Bengkulu, melainkan mengutus wakil. Sebab, saat itu Bung Karno di Jakarta sibuk menggalang kemerdekaan.Setelah pernikahan itu, Fatma dan keluarga diboyong ke Jakarta. Keduanya dianugerahi lima anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Tapi sayang, pernikahan mereka kandas karena Bung Karno menikah lagi. Fatma pergi dari Istana Negara. Fatma tinggal di rumah Kebayoran Baru, Jakarta. Meski berpisah, Fatma tetap menaruh cintanya kepada Bung Karno, yang memang pandai merangkai kata-kata manis untuk perempuan.
Tidak banyak sejarah yang mengupas Fatmawati. Tapi buku Fatmawati Sukarno The First Lady mampu menyajikan cerita lebih lengkap tentang ibu negara itu. Pembaca akan menemukan cerita-cerita baru tentang Fatma dan hubungannya dengan Soekarno. Penulis buku, Arifin Suryo Nugroho, mampu merangkai kehidupan Fatma dari kecil sampai meninggal.Meski sumber buku berasal dari buku sejarah, berita media, dan catatan pribadi, tapi penulis mampu meramunya menjadi cerita yang menarik. Penulis berhasil menyelipkan kutipan-kutipan asli di antara cerita itu. Beberapa kutipan cukup pas dihadirkan, namun beberapa di antaranya terlampau panjang. Misalkan kutipan saat Rachmawati kecewa terhadap Fatma, yang melarang mengenakan gaun pemberian Hartini, istri keempat Soekarno.Buku ini cukup enak dibaca dan tidak bertele-tele. Meski demikian, beberapa isinya hampir kehilangan fokus tentang Fatma. Misalkan saat penulis menerangkan tentang lagu Natal Sttile Nacht, yang mengiringi Fatma berperan sebagai Bunda Maria di sekolahnya. Meski tidak banyak, seharusnya penulis membersihkan cerita-cerita mengganggu ini.
Srihana-Srihani: Sepenggal Kisah Cinta Sukarno-Hartini
Kisah cinta Sukarno dengan Hartini, memang lain. Situasi negara sudah berubah. Indonesia sudah merdeka. Sukarno sudah menjadi penguasa tertinggi di negara ini. Pandangan pertama di rumah Wali Kota Salatiga begitu mengesankan Sukarno. Sukarno telah menemukan kekasih di kota kecil nan sejuk itu. Hartini telah membuka lembaran di hati Sukarno. Sesampainya di Jakarta, Sukarno menulis surat kepada Hartini yang berada di Salatiga.
“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.” Melalui orang suruhan Sukarno, surat pendek itu disuruhnya untuk diserahkan Hartini. Menerima surat cinta dari seorang Presiden membuat Hartini bingung bukan kepalang. Ia bagaikan mimpi. Setelah surat pertama itu kemudian disusul lagi dengan telegram dan surat-surat berikutnya dari Sukarno.
Hartini sungguh bingung karena ia pun tahu Sukarno pada waktu itu sudah memiliki Fatmawati sebagai first lady presiden. Ia tidak mau dianggap merusak rumah tangga orang. Apalagi rumah tangga seorang Presiden, sungguh celaka bila hubungan mereka tercium pers. Tetapi bukan Sukarno jika hanya menyerah sampai di situ, ibarat lautan api pun sanggup ia renangi demi mendapatkan cinta Hartini. Surat demi surat ia kirimkan ke Hartini. Untuk menjaga kerahasiaan, Sukarno menggunakan nama samaran Srihana, sedangkan kekasih barunya itu ia namai Srihani.
Pertemuan kedua tampaknya sudah diatur di tahun 1953, empat bulan setelah pertemuan pertamanya. Dalam acara peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan, Hartini berjumpa kembali dengan Sukarno. Beberapa hari kemudian setelah pertemuan keduanya itu, datanglah kembali seseorang ke rumah janda beranak lima ini. Dia adalah Mayor Jendral Suhardjo, teman baik Presiden Sukarno. Orang itu menanyakan bagaimana kalau Hartini sesekali datang ke Jakarta. Seminggu kemudian datanglah sepucuk surat. Pengirimnya menggunakan nama samaran Srihana. Cuplikan surat itu antara lain berbunyi:
Ketika aku melihatmu untuk kali yang pertama, hatiku bergetar.
Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Ttd…. SRIHANA.
Menanggapi hal itu, lebih jauh Hartini tidak mau berkomentar. Ia hanya selalu mengatakan, “Ah, itu kenangan lama. Tapi saya suka nama samaran pemberian Bapak.” (Mengenai isi surat-surat lain yang jumlahnya tak kurang dari 100 pucuk itu, beberapa di antaranya disertakan di dalam buku ini).
Terlepas dari berbagai aral yang melintang, perkawinannya dengan hartini tampaknya telah memberikan kekuatan jiwa tersendiri bagi Sukarno, baik sebagai pribadi maupun sebagai Presiden Republik Indonesia. John D. Legge menulis dalam bukunya Sukarno: Sebuah Biografi Politik, bahwa kehadiran Hartini telah membuka fase baru yang lebih mantap dalam kehidupan Sukarno.
Dengan jelas Legge menulisnya demikian, “Perkawinan Sukarno dengan Hartini, yang dilaksanakan dalam waktu yang kritis, agaknya telah menyediakan bagi Sukarno suatu sumber kekuatan baru. Sekurang-kurangnya Sukarno sendiri mempertalikan keberanian dan keteguhan hatinya dalam menyelesaikan kemelut tahun 1957 itu dengan bantuan kasih sayang yang diberikan Hartini kepadanya. Sesungguhnya, seperti kita lihat Sukarno telah menunjukkan kepercayaan diri, yang kadang-kadang tidak dipunyainya.”
Besarnya cinta, kekuatan jiwa yang diberikan Hartini dalam kehidupan dan psikologis Sukarno, tergambar dengan jelas dalam buku autobiografi Sukarno yang ditulis oleh Cindy Adams. Meskipun hanya singkat Sukarno mengenang, namun maknanya sangatlah dalam. Sukarno berkata demikian:
Dan mengapa aku mengawini Hartini? Alasannya sederhana saja. Alasan pokok telah berlaku jauh sesudah aku tidak ada lagi: aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya. Dan percintaan kami adalah begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal itu.
Srihana-Srihani adalah dua kata yang menyisakan kenangan mendalam bagi Hartini dan Sukarno. Sebagai kenangan percintaan mereka pada 7 Juli 1965, Sukarno secara khusus mempersembahkan sebuah rumah kepada Hartini yang diberi nama Srihana Srihani. Rumah yang dibangun di Jalan Jakarta, Bogor di atas lahan seluas 1.200 meter persegi dan memiliki 16 kamar itu dibangun langsung di bawah pimpinan Ir. Sukarno dengan arsitek Soedarsono. Di tembok samping bagian depan rumah itu, melekat prasasti berwarna keemasan dan tertulis besar; “Srihana Srihani”. Dua prasasti yang hingga kini masih berdampingan, merangkai, melekat membentuk satu-kesatuan makna menghias tembok rumah yang pernah menjadi saksi sejarah kehidupan mereka itu. Di samping suaminya, Hartini selalu ingin tampil sebagai ‘n moedertje, ‘n geliefde, dan ‘n kameraad― ibu, kekasih, dan teman. Dan di buku ini dapat dilihat bahwa Hartini telah membuktikannya di dalam kehidupan pribadi maupun politik Sukarno.
Bagi mereka, Srihana-Srihani seakan telah menjadi legenda Jawa yang melambangkan kisah cinta laki-laki dan perempuan itu.
*) Buku ini berasal dari skripsi penulis di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Telah dilakukan penambahan sumber serta revisi. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Bayu Sukarno (Putra Hartini Sukarno dan Hartini) atas pertemuannya dengan penulis. Ibu Sri Hariswati (Putri Hartini Sukarno dan Suwondo, suami pertama) atas masukan dan saran―dengan nada sesak penuh keharuan―dua bulan setelah buku ini diterbitkan. Dan juga kesediaan wawancara dan penambahan informasi apabila diterbit-ulangkan. Buku ini pula yang mengantar penulis melanjutkan sekolah.
Judul : Perempuan dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih
Pengarang : Reni Nuryanti
Penerbit : Ombak,
Cetakan : Maret 2007
Tebal : 386 hlm
“Sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang tidak bertabur bunga, aku telah mengantarkan seseorang, aku telah mengantarkan seseorang sampai gerbang berharga”
(Inggit Garnasih setelah bercerai dengan Sukarno)
Apabila mengkaji dengan seksama peran perempuan dalam sejarah, banyak pesan historis yang mampu menjadi daya penggugah dan penumbuh kemajuan bangsa. Perempuan sebenarnya tidak hanya tampak dalam sektor domestik, tetapi juga memunculkan peran besar di dunia publik; perempuan dapat menjadi ilham dan kekuatan para pejuang. Perempuan dapat merubah perjalanan cinta, demikian kata Sejarawan senior Anhar Gonggong. Pendapat setara diungkapkan oleh Anis Matta. Ia mengatakan bahwa perempuan mampu menjadi daya psikohistoris bagi pejuang. Bahkan pepatah Arab mengatakan “di balik setiap pahlawan besar selalu ada seorang perempuan yang agung.” Sungguh luar biasa ternyata sosok manusia yang dinamai perempuan!
Inggit Garnasih adalah salah satu orangnya. Ia satu dari sekian banyak perempuan yang telah menorehkan sejarah bagi bangsa
Inggit mendampingi Sukarno pada saat-saat penting menuju romantika keberhasilan perjuangan yang syarat dengan tantangan. Inggit Garnasihlah yang dengan penuh semangat cinta kasih senantiasa mendampingi perjuangan Sukarno dari bilik politik PNI (Partai Nasional Indonesia) yang syarat dengan penjara hingga ke Tanah Merah—Ende (Flores), Bengkulu, dan
Dengan kecerdasan mata batinnya, kelembutan serta pengabdian jiwanya mampu menguatkan pribadi Sukarno yang saat itu mulai rapuh. Sejak mengundurkan diri dari PNI pada 1930, “jiwanya ibarat Hamlet yang tersobek-sobek,” demikian S.I. Poeradisastra menuturkan. Dengan jiwa keibuan, rasa kasih sayang yang tulus, Inggit mampu membangun kembali semangat Sukarno. Bahkan pada saat-saat pembuangan di Ende, Bengkulu dan Padang, selama kurang lebih 9 tahun itu (terhitung sejak 1933-1942), Inggit mampu membangun jiwa suaminya hingga tampil paripurna di tahun 1945. Inggit setia mendampingi, Inggit setia melayani baik dalam pekerjaan maupun dorongan. (hlm 49).
Enggit, begitulah Sukarno biasa memanggilnya, bukan hanya istri yang mampu mengantarkannya menuju gemerlap kejayaan pemimpin bangsa. Lebih dari itu, dia adalah sosok ibu, kekasih, sekaligus kawan yang setia mendampingi tanpa mengenal pamrih. Inggit Garnasih bagi pemuda Sukarno mewujudkan kasih ibu yang hilang, yang tidak dinikmati sebelumnya—betapa parakdoksalpun kedengarannya. Dia kekasih satu-satunya yang mencintai Sukarno tidak karena harta dan tahtanya; yang memberi tanpa meminta kembali serta satu-satunya yang pernah menemani Sukarno di dalam kemiskinan dan kekurangan.
Walaupun demikian, sejarah tidak bisa mengelak kekurangan dalam diri Inggit sebagai manusia biasa yang tidak dapat ditutup-tutupi. Inggit tidak bisa memberikan keturunan hingga kemudian Sukarno menjatuhkan pilihannya pada gadis Bengkulu, Fatmawati pada 1943. Hingga suatu saat karena menginginkan keturunan (atau mungkin juga terpikat kecantikan fatma), Sukarno berhasrat untuk memadu Inggit. Namun sikap menolak dimadu ini juga muncul dalam diri Inggit. Dalam ucapannya, inggit mengatakan lebih baik dicerai daripada harus berdampingan dengan perempuan lain. Apalagi Fatmawati saat itu baru berusia 20 tahun, Inggit istrinya telah memasuki usia 55 tahun sementara Sukarno saat itu berusia 42 tahun. Sering Inggit mengucapkan dalam Bahasa Sunda, ari dicandung mah cadu (kalau dimadu pantang) kepada Sukarno. (hlm. 257)
Sikap Inggit terus dipertahankan hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Sukarno sesungguhnya tidak menghendaki perceraiannya dengan Inggit. Selama masih bisa perkawinannya dengan Inggit akan tetap ia pertahannkan. Dengan alasan yang rasional—keinginannya memiliki keturunan ia juga bersikeras untuk menikahi Fatmawati. Ia telah mantap dengan sikapnya itu, “Inggit terlalu baik untuk diceraikan, tidak mungkin aku tega padanya. Sekarang ini saya mendambakan seorang anak dari keturunanku sendiri, sedangkan Inggit tidak dapat memberinya apakah aku salah? (hlm. 258)
Buku yang dikarang oleh Reni Nuryanti ini selalu menarik untuk dibaca. Pemilihan bahasa yang pas, menarik, dan menimbulkan kesan segar itu telah menampik stereotype bahwa karya sejarah selalu tampil kering dan membosankan untuk dibaca.
Penulis setidaknya telah mampu menceritakan hal-hal yang detail terhadap sosok Inggit Garnasih. Bahkan yang menjadi nilai lebih, penulis juga berhasil memanfaatkan sumber lisan yang ia gali langsung dari proses wawancara. Salah satu diantaranya adalah Ratna Juami (anak angkat Sukarno dengan Inggit dan teman sepermainan Fatmawati di Bengkulu) yang mungkin juga cukup tahu banyak tentang seluk beluk kehidupan Sukarno bersama Inggit Garnasih.
Buku ini akan membantu pembaca untuk mengetahui dan memahami sosok Inggit Garnasih dengan segala suka dukanya dalam mengarungi hidup, baik ketika bersama maupun ketika Inggit memilih untuk berpisah dengan Sukarno. Apa pun kekurangannya, buku ini tetap menarik dan penting serta menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk yang otonom dan mandiri serta bisa menjadi kekuatan sejarah.
Arifin Suryo Nugroho
(Resensi ini pernah dimuat dalam Kedaulatan Rakyat, Minggu, 13 Juli 2008)
Pun begitu yang diharapkan dengan kehadiran buku ini. Buku ini hendak mempertegas bahwa tidak selamanya orang yang bermakna dalam kehidupan adalah orang yang memiliki banyak waktu untuk hidup. Tetapi mereka yang mampu memanfaatkan waktu untuk terus berproses menggores tinta sejarah tanpa harus menuntut umur panjang. Dalam proses yang tidak pernah mencapai garis finis itulah mereka “terjebak” dalam kedinamisan di dalam pergolakan, gejolak yang terus menerus, suatu kegelisahan abadi dan sama sekali bukan keayeman yang nyaman, tenang dan lengang. Dengan selalu memperbaiki dan responsif mereka “menjadi manusia” di dalam medan proses itu. Seperti dikatakan Walt Whitman, manusia besar selalu lahir dari alam, yaitu dari pengalaman. Manusia-manusia besar di buku ini jelas sudah melewati fase itu.
Di sebuah suratnya, seorang perempuan pribumi anak bupati menulis: “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”. Hanya segelintir yang tahu, kalau Kartini bukan sekadar pelopor emansipasi perempuan, melainkan juga “pengkritik yang tangguh dari feodalisme Jawa dengan segala tetek bengek kerumitannya”, sekaligus juga sebagai “pemula dari sejarah modern Indonesia”.
Kartini memang banyak mengemukakan kekaguman pada kebudayaan Eropa. Hanya saja penting diingat, bahwa Kartini tidak buta dan terpesona habis oleh prestasi bangsa Eropa. Kartini sudah sadar bahwa Eropa bukan satu-satunya pola yang harus diikuti. Ia juga sadar bahwa Eropa bukanlah surga. Adalah luar biasa membayangkan seorang perempuan bumiputera berusia duapuluh (saat Kartini mulai menulis surat-suratnya), yang cuma tamatan Sekolah Rendah, tanpa kesempatan meneruskan sekolah, dan hanya susah payah belajar sendiri, bisa sedemikian maju pikiran, pengetahuan dan kepeloporannya merintis hari esok.
Sepanjang ada penindasan, maka sepanjang itu pula dalam masyarakat muncul perlawanan dan gerakan. Dalam perjalanan waktu sejalan dengan memuncaknya rasa kebangsaan dari awal hingga pertengahan abad XX, semangat-semangat heroisme merasuk dalam perjuangan pemuda-pemuda Indonesia. Keinginan menjadikan bangsa berdaulat menjadi ruh perjuangan, hingga kemudian lahir nama pemuda-pemuda revolusioner semacam Wolter Monginsidi, Supriyadi, hingga Soedirman. Dari ranah sastra, dengan sajak-sajak hero-nya, Chairil menjadi pemantik semangat 45. Sebelum ajal menjemput, di usia yang muda mereka telah menjadi obor perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonialis dari bumi pertiwi.
Lain halnya dengan generasi pemuda yang hidup masa sebaya Wahib, seperti diutarakan oleh penggerak pembaharuan lain, Soe Hok Gie, merupakan manusia-manusia baru―generasi kemerdekaan Indonesia. Generasi-generasi baru ini, seperti diungkap Daniel Dhakidae dalam pengantarnya di buku Catatan Seorang Demonstran :
Mereka bukan orang yang takjub melihat kaki langit baru, yang terkagum-kagum kepada Barat model Sutan Takdir Ali Sjahbana; mereka bukan “pemuda bambu runcing”; mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme setelah penyerahan kedaulatan, dalam mitos-mitos tentang kemerdekaan dan harapan besar terhadap “kejayaan Indonesia di masa depan”; mereka adalah generasi yang dibius oleh semangat “progresif revolusioner” model Soekarno; tetapi terutama generasi inilah yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang, kehancuran kepercayaan kepada generasi-generasi yang terdahulu.
Perjuangan tak pernah berhenti untuk mencipta keadilan di bumi pertiwi. Revolusi diputar ketika situasi normal terhenti dan dihentikan. Munir dengan humanitarianismenya menjadi cahaya bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Nyalinya yang tak menciut menghadapi teror bertubi demi mengawal tegaknya hak-hak kemanusiaan membuat Munir pantas dianugerahi pejuang HAM nomor wahid Indonesia di belakang namanya. Hingga akhirnya “lilin” itu sengaja dipadamkan.
Mereka yang tersebut di atas adalah orang-orang yang mati muda namun meninggalkan warisan-warisan yang hingga kini nyaris tak akan mudah dimusnahkan. Perjalanan hidupnya sangat bermakna sekaligus harum di banyak orang.
Mereka-mereka itu adalah personifikasi dari pikiran-pikiran besar, pikiran-pikiran yang menjawab tantangan-tantangan zamannya, dan pikiran-pikiran yang berusaha menjawab tantangan masa depan. Mereka adalah personifikasi dari keberanian untuk menjadi subjek di dalam sebuah proses perubahan yang panjang, global, dan menentang ketiada-adilan. Mereka adalah simbol yang memperlihatkan bahwa hidup manusia memang terbatas akan tetapi pikiran-pikiran dan karyanya telah melintasi jaman. Meski usia muda belia, mereka telah terobos ruang dan waktu