Pun begitu yang diharapkan dengan kehadiran buku ini. Buku ini hendak mempertegas bahwa tidak selamanya orang yang bermakna dalam kehidupan adalah orang yang memiliki banyak waktu untuk hidup. Tetapi mereka yang mampu memanfaatkan waktu untuk terus berproses menggores tinta sejarah tanpa harus menuntut umur panjang. Dalam proses yang tidak pernah mencapai garis finis itulah mereka “terjebak” dalam kedinamisan di dalam pergolakan, gejolak yang terus menerus, suatu kegelisahan abadi dan sama sekali bukan keayeman yang nyaman, tenang dan lengang. Dengan selalu memperbaiki dan responsif mereka “menjadi manusia” di dalam medan proses itu. Seperti dikatakan Walt Whitman, manusia besar selalu lahir dari alam, yaitu dari pengalaman. Manusia-manusia besar di buku ini jelas sudah melewati fase itu.
Di sebuah suratnya, seorang perempuan pribumi anak bupati menulis: “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”. Hanya segelintir yang tahu, kalau Kartini bukan sekadar pelopor emansipasi perempuan, melainkan juga “pengkritik yang tangguh dari feodalisme Jawa dengan segala tetek bengek kerumitannya”, sekaligus juga sebagai “pemula dari sejarah modern Indonesia”.
Kartini memang banyak mengemukakan kekaguman pada kebudayaan Eropa. Hanya saja penting diingat, bahwa Kartini tidak buta dan terpesona habis oleh prestasi bangsa Eropa. Kartini sudah sadar bahwa Eropa bukan satu-satunya pola yang harus diikuti. Ia juga sadar bahwa Eropa bukanlah surga. Adalah luar biasa membayangkan seorang perempuan bumiputera berusia duapuluh (saat Kartini mulai menulis surat-suratnya), yang cuma tamatan Sekolah Rendah, tanpa kesempatan meneruskan sekolah, dan hanya susah payah belajar sendiri, bisa sedemikian maju pikiran, pengetahuan dan kepeloporannya merintis hari esok.
Sepanjang ada penindasan, maka sepanjang itu pula dalam masyarakat muncul perlawanan dan gerakan. Dalam perjalanan waktu sejalan dengan memuncaknya rasa kebangsaan dari awal hingga pertengahan abad XX, semangat-semangat heroisme merasuk dalam perjuangan pemuda-pemuda Indonesia. Keinginan menjadikan bangsa berdaulat menjadi ruh perjuangan, hingga kemudian lahir nama pemuda-pemuda revolusioner semacam Wolter Monginsidi, Supriyadi, hingga Soedirman. Dari ranah sastra, dengan sajak-sajak hero-nya, Chairil menjadi pemantik semangat 45. Sebelum ajal menjemput, di usia yang muda mereka telah menjadi obor perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonialis dari bumi pertiwi.
Lain halnya dengan generasi pemuda yang hidup masa sebaya Wahib, seperti diutarakan oleh penggerak pembaharuan lain, Soe Hok Gie, merupakan manusia-manusia baru―generasi kemerdekaan Indonesia. Generasi-generasi baru ini, seperti diungkap Daniel Dhakidae dalam pengantarnya di buku Catatan Seorang Demonstran :
Mereka bukan orang yang takjub melihat kaki langit baru, yang terkagum-kagum kepada Barat model Sutan Takdir Ali Sjahbana; mereka bukan “pemuda bambu runcing”; mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme setelah penyerahan kedaulatan, dalam mitos-mitos tentang kemerdekaan dan harapan besar terhadap “kejayaan Indonesia di masa depan”; mereka adalah generasi yang dibius oleh semangat “progresif revolusioner” model Soekarno; tetapi terutama generasi inilah yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang, kehancuran kepercayaan kepada generasi-generasi yang terdahulu.
Perjuangan tak pernah berhenti untuk mencipta keadilan di bumi pertiwi. Revolusi diputar ketika situasi normal terhenti dan dihentikan. Munir dengan humanitarianismenya menjadi cahaya bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Nyalinya yang tak menciut menghadapi teror bertubi demi mengawal tegaknya hak-hak kemanusiaan membuat Munir pantas dianugerahi pejuang HAM nomor wahid Indonesia di belakang namanya. Hingga akhirnya “lilin” itu sengaja dipadamkan.
Mereka yang tersebut di atas adalah orang-orang yang mati muda namun meninggalkan warisan-warisan yang hingga kini nyaris tak akan mudah dimusnahkan. Perjalanan hidupnya sangat bermakna sekaligus harum di banyak orang.
Mereka-mereka itu adalah personifikasi dari pikiran-pikiran besar, pikiran-pikiran yang menjawab tantangan-tantangan zamannya, dan pikiran-pikiran yang berusaha menjawab tantangan masa depan. Mereka adalah personifikasi dari keberanian untuk menjadi subjek di dalam sebuah proses perubahan yang panjang, global, dan menentang ketiada-adilan. Mereka adalah simbol yang memperlihatkan bahwa hidup manusia memang terbatas akan tetapi pikiran-pikiran dan karyanya telah melintasi jaman. Meski usia muda belia, mereka telah terobos ruang dan waktu
No comments:
Post a Comment