Total Pageviews

Monday, March 22, 2010

Jejak Hidup The First Lady











“Behind Every Great Man, There’s Great Woman,”

(Di balik laki-laki besar, selalu ada wanita besar)


Sebuah peribahasa Amerika ini sepertinya sering kali diasosiasikan dengan sepak terjang ibu negara yang berada di belakang para pemimpin. Peribahasa itu juga yang tepat mencerminkan kekuatan Fatmawati Sukarno, ibu negara pertama negara ini, yang berada di balik kebesaran sang proklamator, Sukarno.

Setidaknya Fatmawati Sukarno adalah wanita yang berada di samping suaminya, pada saat-saat penting dari sejarah bangsa ini―dalam pidato lahirnya Pancasila yang terkenal itu, juga di saat persiapan kemerdekaan, waktu mereka “diculik” para pemuda ke Rengasdengklok maupun waktu berapat di rumah Laksamana Maeda. Dalam foto yang memperlihatkan saat pengibaran bendera merah putih di hari Proklamasi, selain Sukarno dan Hatta, tampak punggung wanita berkerudung dengan hanya bermotif garis. Itulah Fatma, yang sedang menyaksikan bendera yang dijahitnya sendiri.

Pada halaman 182 buku memoarnya, Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno, dimuat foto kertas pengantar gaji presiden Sukarno yang 1.150 gulden, bulan Februari 1952―setelah dipotong pinjaman 300 gulden, dari pinjaman 1.800 gulden yang dibayar dengan mengangsur, dan iuran Palang Merah 50 gulden. Di bawah foto itu terbaca keterangan, “Amplop gaji Presiden RI tahun 1950-an yang sebulan-bulannya aku terima. Sangat sederhana bukan?”

Wanita yang diberi gelar “Perintis Kemerdekaan” dan “Pahlawan Nasional” itu memang sangat sederhana. Sampai akhir hidupnya, ia amat jauh dari kemewahan. Pada masa pengungsian Pemerintah RI di Yogyakarta, ia menjamu para pemimpin dengan memasak sendiri.

Ketika pertama kali diajak ke luar negeri, India, Ibu Negara itu tak punya perhiasan apa pun, sehingga terpaksa meminjam dari isteri Sekretaris Negara, seorang keturunan bangsawan keraton yang kebetulan memiliki persediaan perhiasan. (baca kisahnya di hlm 145-150).

Fatma. Ia memang mengingatkan kita pada saat-saat awal Republik ini. Ketika penderitaan bersama tidak mengurangi semangat dan ketulusan, ketika cita-cita, bahkan kebanggaan, masih jauh dari sifat serakah. Serba nyata, hidup dalam serba kekurangan dan kesederhanaan, benar-benar bekerja dan berjuang tanpa pamrih. Benar-benar dalam bahaya luka dan maut. Ketika kondisi kepahlawanan benar-benar penuh romantika dan heroisme. Hati bergetar, darah mengalir, air mata berderai. Kondisi itu begitu sarat secara kejiwaan, sehingga sekaligus sering melahirkan ekspresi dalam lagu, dalam seni lukis, dalam seni sastra―kepahlawanan dalam kondisi poesi.

Fatma. Nama itu kembali bergetar, menguatkan ingatan akan seorang wanita yang berpendirian kukuh, konsisten dan tabah, betapapun karena sikapnya ia harus menderita. Di luar perjuangan kemerdekaan, sejarah juga mencatatnya sebagai simbol penolakan poligami.

Wanita kampung itu, Fatma―yang berarti bunga teratai―dahulu terkenal selalu berkerudung dan pintar mengaji, dan waktu kecil pernah berjualan pecal dan kacang bawang di keramaian pertunjukan sirkus (dikisahkan lengkap mulai hlm 9-22)―memang kemudian ditakdirkan terlibat sedemikian jauh dengan pasang naik kemerdekaan. Namun kemudian ia terlempar dari kehidupan resmi kenegaraan dan memutuskan untuk berpisah dari suaminya, hanya beberapa hari setelah kelahiran putra bungsunya, Guruh, tanggal 13 Januari 1954.


Fragmen-Fragmen Cinta Sukarno-Fatma
Fragmen I
........
Pagi hari sekitar jam 10.00, Fatma berencana untuk berangkat ke rumah Sukarno. Tujuan utamanya adalah meminta pertimbangan terhadap lamaran seorang pemuda kepada dirinya tersebut. Namun sebelum ia keluar rumah, Sukarno sudah mendahuluinya datang dengan membawa album foto pernikahan bibinya dengan salah seorang family Sukarno. Seperti biasa, mereka berdua duduk di beranda, tempat Sukarno sering memberikan les bahasa Inggris pada Fatma. Setelah melihat-lihat foto dalam album itu, Fatma menemukan momentum tepat untuk meminta pendapat Sukarno dalam masalah peminangan seorang pemuda atas dirinya. Nasihat gurunya itu nanti tentu ia harapkan sebagai pertimbangan selanjutnya. Yang sama sekali tidak Fatma kira sebelumnya kata yang keluar dari mulut Sukarno justru bukan nasihat, namun pernyataan cinta kepada Fatma.
(hlm. 50-51 dalam Bagian Kedua, “Bapak Menaruh Cinta”)

Fragmen II
.......
Perasaan kecewa Inggit ditulis dalam bentuk surat dan dikirimkannya kepada Ratna Djuami di Taman Siswa Yogyakarta. Dalam suratnya dia menuliskan kekecewaan mengapa dulu menerima Fatma untuk indekost di rumahnya hingga membuat suaminya jatuh cinta lagi. Djuami pun membalas surat ibunya, ia juga menulis surat kepada ayahnya, Sukarno. Dalam surat itu, Djuami menumpahkan kemarahannya atas keputusan ayahnya untuk mendua hati. Apalagi perempuan itu adalah Fatmawati, sahabat karibnya dulu. Ia menunjukkan solidaritas kewanitaan dan rasa cintanya kepada sang ibu. Djuami pun kemudian menulis surat kepada Fatma.
(apa isi surat Ratna Djuami kepada sahabatnya, Fatma, yang ‘merebut’ hati bapaknya (Sukarno) dari ibunya (Inggit Garnasih). Dan bagaimana perjalanan cinta Inggit Garnasih dengan Sukarno setelah hadirnya Fatma??? baca selengkapnya hlm. 54-85, dalam Bagian Kedua dan Ketiga, “Reaksi Inggit Garnasih” s/d “Inggit dikembalikan ke Bandung”).

Fragmen III
.........
Selain Gedung Agung (Yogya) menjadi Istana Kepresidenan―tempat tinggal Sukarno dan Fatma itu juga mempunyai serba fungsi sebagai tempat sidang kabinet, sebagai markas kursus-kursus politik, sebagai pesanggrahan bagi pemimpin-pemimpin yang belum mempunyai rumah atau karena masih bujangan seperti Bung Syahrir dan beberapa tokoh lain. Suasana seperti itu menjadi tanggung jawab Fatma sebagai Ibu Negara dari negara yang sedang tertatih untuk menciptakan suasana kekeluargaan di antara para tokoh dan keluarga tokoh yang tinggal di Istana. Mengurus dan memperhatikan kepentingan “keluarga besar” yang keluar masuk Istana Kepresidenan juga menjadi tanggung jawab utama Ibu Negara Fatmawati.
(hlm. 122, dalam Bagian Keempat, “Suka Duka Menjadi Ibu Negara”)

Fragmen IV
Bujukan untuk kembali ke Istana kujalankan atas permintaan Bung Karno, tapi gagal. Dengan air mata berlinang-linang Bu Fat berkata: ‘Pak Win, lebih baik kita bicara persoalan yang lain saja. Sekarang saya tidak di Istana lagi, tidak di dekat anak-anak. Saya minta perhatian dan pertolongan Pak Win untuk membantu dan mengawasi anak-anak saya lebih baik dari yang sudah-sudah. Juga bantu mengawasi pengasuh-pengasuhnya dan jangan sampai mereka kekurangan. Harap Pak Win anggap anak-anak itu sebagai anal-anak sendiri. Saya tidak di dekat anak-anak lagi dan ayahnya juga jarang di tempat.
Pada waktu-waktu yang senggang pada hari-hari libur, ajaklah anak-anak berziarah ke daerah-daerah, terutama ke Blitar dan ke makam-makam pemimpin bangsa kita. Untuk itu saya akan berterima kasih sekali, terlebih-lebih karena saya menganggap Pak Win sebagai abang sendiri, karena saya dilahirkan di dunia hanya seorang diri, tidak ada abang dan tidak ada kakak.
(Winoto Danuasmoro utusan Sukarno, saat membujuk Fatma untuk kembali ke Istana, dalam Bagian Kelima, “Meninggalkan Istana”. Mengapa Fatma sampai meninggalkan Istana? baca selengkapnya hlm. 157-181)

Sebagaimana wanita lain yang pernah mampir di hati Sukarno, menurut sejarawan politik Aiko Kurasawa, Fatmawati juga pernah memposisikan diri sebagai sumber daya psikohistoris dalam salah satu periode hidup Sukarno. Ketika Sukarno sedang menghadapi persoalan politik di jaman Jepang; Gerakan Putera tidak berjalan baik dan diancam dibubarkan, kemerdekaan untuk Burma (Myanmar) dan Filipina diumumkan, tetapi Indonesia tidak diberi kesempatan merdeka. Sukarno sangat kecewa dengan keputusan pemerintah Jepang itu. Sukarno berhasil mengatasi kesulitan dan kekecewaan itu berkat kegembiraan dalam kehidupan pribadinya―bersama Fatmawati.

*) Banyak kisah menarik yang dapat dibaca dalam buku ini, kaitannya dengan jatuhnya Sukarno, “kemiskinan” dan kehidupan First Lady di luar istana sampai akhir hayatnya, kontroversi makam Sukarno, serta perjalanan anak-anak Sukarno-Fatmawati. Kisah selengkapnya silakan baca bukunya. Buku ini tersedia di TB Gramedia seluruh Indonesia.

(Arifin Suryo Nugroho)

Monday, March 8, 2010

1 TAHUN BUKU “SRIHANA-SRIHANI” MENYAPA PEMBACA*)

Judul Buku : Srihana-Srihani: Biografi Hartini Sukarno
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Tahun terbit : Maret, 2009
Penulis : Arifin Suryo Nugroho
Kata Pengantar : Dr. Anhar Gonggong



Srihana-Srihani: Sepenggal Kisah Cinta Sukarno-Hartini
Kisah cinta Sukarno dengan Hartini, memang lain. Situasi negara sudah berubah. Indonesia sudah merdeka. Sukarno sudah menjadi penguasa tertinggi di negara ini. Pandangan pertama di rumah Wali Kota Salatiga begitu mengesankan Sukarno. Sukarno telah menemukan kekasih di kota kecil nan sejuk itu. Hartini telah membuka lembaran di hati Sukarno. Sesampainya di Jakarta, Sukarno menulis surat kepada Hartini yang berada di Salatiga.

“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.” Melalui orang suruhan Sukarno, surat pendek itu disuruhnya untuk diserahkan Hartini. Menerima surat cinta dari seorang Presiden membuat Hartini bingung bukan kepalang. Ia bagaikan mimpi. Setelah surat pertama itu kemudian disusul lagi dengan telegram dan surat-surat berikutnya dari Sukarno.

Hartini sungguh bingung karena ia pun tahu Sukarno pada waktu itu sudah memiliki Fatmawati sebagai first lady presiden. Ia tidak mau dianggap merusak rumah tangga orang. Apalagi rumah tangga seorang Presiden, sungguh celaka bila hubungan mereka tercium pers. Tetapi bukan Sukarno jika hanya menyerah sampai di situ, ibarat lautan api pun sanggup ia renangi demi mendapatkan cinta Hartini. Surat demi surat ia kirimkan ke Hartini. Untuk menjaga kerahasiaan, Sukarno menggunakan nama samaran Srihana, sedangkan kekasih barunya itu ia namai Srihani.

Pertemuan kedua tampaknya sudah diatur di tahun 1953, empat bulan setelah pertemuan pertamanya. Dalam acara peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan, Hartini berjumpa kembali dengan Sukarno. Beberapa hari kemudian setelah pertemuan keduanya itu, datanglah kembali seseorang ke rumah janda beranak lima ini. Dia adalah Mayor Jendral Suhardjo, teman baik Presiden Sukarno. Orang itu menanyakan bagaimana kalau Hartini sesekali datang ke Jakarta. Seminggu kemudian datanglah sepucuk surat. Pengirimnya menggunakan nama samaran Srihana. Cuplikan surat itu antara lain berbunyi:

Ketika aku melihatmu untuk kali yang pertama, hatiku bergetar.
Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Ttd…. SRIHANA.

Menanggapi hal itu, lebih jauh Hartini tidak mau berkomentar. Ia hanya selalu mengatakan, Ah, itu kenangan lama. Tapi saya suka nama samaran pemberian Bapak.” (Mengenai isi surat-surat lain yang jumlahnya tak kurang dari 100 pucuk itu, beberapa di antaranya disertakan di dalam buku ini).

Terlepas dari berbagai aral yang melintang, perkawinannya dengan hartini tampaknya telah memberikan kekuatan jiwa tersendiri bagi Sukarno, baik sebagai pribadi maupun sebagai Presiden Republik Indonesia. John D. Legge menulis dalam bukunya Sukarno: Sebuah Biografi Politik, bahwa kehadiran Hartini telah membuka fase baru yang lebih mantap dalam kehidupan Sukarno.

Dengan jelas Legge menulisnya demikian, Perkawinan Sukarno dengan Hartini, yang dilaksanakan dalam waktu yang kritis, agaknya telah menyediakan bagi Sukarno suatu sumber kekuatan baru. Sekurang-kurangnya Sukarno sendiri mempertalikan keberanian dan keteguhan hatinya dalam menyelesaikan kemelut tahun 1957 itu dengan bantuan kasih sayang yang diberikan Hartini kepadanya. Sesungguhnya, seperti kita lihat Sukarno telah menunjukkan kepercayaan diri, yang kadang-kadang tidak dipunyainya.”

Besarnya cinta, kekuatan jiwa yang diberikan Hartini dalam kehidupan dan psikologis Sukarno, tergambar dengan jelas dalam buku autobiografi Sukarno yang ditulis oleh Cindy Adams. Meskipun hanya singkat Sukarno mengenang, namun maknanya sangatlah dalam. Sukarno berkata demikian:

Dan mengapa aku mengawini Hartini? Alasannya sederhana saja. Alasan pokok telah berlaku jauh sesudah aku tidak ada lagi: aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya. Dan percintaan kami adalah begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal itu.

Srihana-Srihani adalah dua kata yang menyisakan kenangan mendalam bagi Hartini dan Sukarno. Sebagai kenangan percintaan mereka pada 7 Juli 1965, Sukarno secara khusus mempersembahkan sebuah rumah kepada Hartini yang diberi nama Srihana Srihani. Rumah yang dibangun di Jalan Jakarta, Bogor di atas lahan seluas 1.200 meter persegi dan memiliki 16 kamar itu dibangun langsung di bawah pimpinan Ir. Sukarno dengan arsitek Soedarsono. Di tembok samping bagian depan rumah itu, melekat prasasti berwarna keemasan dan tertulis besar; “Srihana Srihani”. Dua prasasti yang hingga kini masih berdampingan, merangkai, melekat membentuk satu-kesatuan makna menghias tembok rumah yang pernah menjadi saksi sejarah kehidupan mereka itu. Di samping suaminya, Hartini selalu ingin tampil sebagai ‘n moedertje, ‘n geliefde, dan ‘n kameraad― ibu, kekasih, dan teman. Dan di buku ini dapat dilihat bahwa Hartini telah membuktikannya di dalam kehidupan pribadi maupun politik Sukarno.

Bagi mereka, Srihana-Srihani seakan telah menjadi legenda Jawa yang melambangkan kisah cinta laki-laki dan perempuan itu.

*) Buku ini berasal dari skripsi penulis di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Telah dilakukan penambahan sumber serta revisi. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Bayu Sukarno (Putra Hartini Sukarno dan Hartini) atas pertemuannya dengan penulis. Ibu Sri Hariswati (Putri Hartini Sukarno dan Suwondo, suami pertama) atas masukan dan saran―dengan nada sesak penuh keharuan―dua bulan setelah buku ini diterbitkan. Dan juga kesediaan wawancara dan penambahan informasi apabila diterbit-ulangkan. Buku ini pula yang mengantar penulis melanjutkan sekolah.