Total Pageviews

Monday, September 14, 2009

Inggit Garnasih: Memberi Tanpa Menerima


Judul : Perempuan dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih
Pengarang : Reni Nuryanti
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Cetakan : Maret 2007
Tebal : 386 hlm

“Sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang tidak bertabur bunga, aku telah mengantarkan seseorang, aku telah mengantarkan seseorang sampai gerbang berharga”

(Inggit Garnasih setelah bercerai dengan Sukarno)

Apabila mengkaji dengan seksama peran perempuan dalam sejarah, banyak pesan historis yang mampu menjadi daya penggugah dan penumbuh kemajuan bangsa. Perempuan sebenarnya tidak hanya tampak dalam sektor domestik, tetapi juga memunculkan peran besar di dunia publik; perempuan dapat menjadi ilham dan kekuatan para pejuang. Perempuan dapat merubah perjalanan cinta, demikian kata Sejarawan senior Anhar Gonggong. Pendapat setara diungkapkan oleh Anis Matta. Ia mengatakan bahwa perempuan mampu menjadi daya psikohistoris bagi pejuang. Bahkan pepatah Arab mengatakan “di balik setiap pahlawan besar selalu ada seorang perempuan yang agung.” Sungguh luar biasa ternyata sosok manusia yang dinamai perempuan!

Inggit Garnasih adalah salah satu orangnya. Ia satu dari sekian banyak perempuan yang telah menorehkan sejarah bagi bangsa Indonesia di masanya, tetapi namanya mulai lekang oleh waktu. Inggit Garnasih sejatinya merupakan perempuan yang turut mengharumkan bangsa Indonesia. Posisinya sebagai istri Sukarno (istri kedua setelah Oetari Tjokroaminoto), menjadi inspirasi perjuangan dalam kancah politik. S.I. Poeradisastra dalam pengantarnya pada buku Ku Antar ke Gerbang Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Sukarno karya Ramadhan K.H., mengatakan bahwa separuh daripada semua prestasi Sukarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih dalam ‘bank jasa nasionalisme Indonesia’.

Inggit mendampingi Sukarno pada saat-saat penting menuju romantika keberhasilan perjuangan yang syarat dengan tantangan. Inggit Garnasihlah yang dengan penuh semangat cinta kasih senantiasa mendampingi perjuangan Sukarno dari bilik politik PNI (Partai Nasional Indonesia) yang syarat dengan penjara hingga ke Tanah Merah—Ende (Flores), Bengkulu, dan Padang. John Legge dalam bukunya yang berjudul Sukarno, a Political Biography mengatakan bahwa ditahun-tahun penting di era 1920-an itulah Sukarno tampil percaya diri dengan pendampingan Inggit. Inggit mendukung Sukarno secara emosional dan dalam ingatan rekan-rekan Sukarno pada waktu itu, dukungan Inggit sangatlah penting baginya.

Dengan kecerdasan mata batinnya, kelembutan serta pengabdian jiwanya mampu menguatkan pribadi Sukarno yang saat itu mulai rapuh. Sejak mengundurkan diri dari PNI pada 1930, “jiwanya ibarat Hamlet yang tersobek-sobek,” demikian S.I. Poeradisastra menuturkan. Dengan jiwa keibuan, rasa kasih sayang yang tulus, Inggit mampu membangun kembali semangat Sukarno. Bahkan pada saat-saat pembuangan di Ende, Bengkulu dan Padang, selama kurang lebih 9 tahun itu (terhitung sejak 1933-1942), Inggit mampu membangun jiwa suaminya hingga tampil paripurna di tahun 1945. Inggit setia mendampingi, Inggit setia melayani baik dalam pekerjaan maupun dorongan. (hlm 49).

Enggit, begitulah Sukarno biasa memanggilnya, bukan hanya istri yang mampu mengantarkannya menuju gemerlap kejayaan pemimpin bangsa. Lebih dari itu, dia adalah sosok ibu, kekasih, sekaligus kawan yang setia mendampingi tanpa mengenal pamrih. Inggit Garnasih bagi pemuda Sukarno mewujudkan kasih ibu yang hilang, yang tidak dinikmati sebelumnya—betapa parakdoksalpun kedengarannya. Dia kekasih satu-satunya yang mencintai Sukarno tidak karena harta dan tahtanya; yang memberi tanpa meminta kembali serta satu-satunya yang pernah menemani Sukarno di dalam kemiskinan dan kekurangan.

Walaupun demikian, sejarah tidak bisa mengelak kekurangan dalam diri Inggit sebagai manusia biasa yang tidak dapat ditutup-tutupi. Inggit tidak bisa memberikan keturunan hingga kemudian Sukarno menjatuhkan pilihannya pada gadis Bengkulu, Fatmawati pada 1943. Hingga suatu saat karena menginginkan keturunan (atau mungkin juga terpikat kecantikan fatma), Sukarno berhasrat untuk memadu Inggit. Namun sikap menolak dimadu ini juga muncul dalam diri Inggit. Dalam ucapannya, inggit mengatakan lebih baik dicerai daripada harus berdampingan dengan perempuan lain. Apalagi Fatmawati saat itu baru berusia 20 tahun, Inggit istrinya telah memasuki usia 55 tahun sementara Sukarno saat itu berusia 42 tahun. Sering Inggit mengucapkan dalam Bahasa Sunda, ari dicandung mah cadu (kalau dimadu pantang) kepada Sukarno. (hlm. 257)

Sikap Inggit terus dipertahankan hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Sukarno sesungguhnya tidak menghendaki perceraiannya dengan Inggit. Selama masih bisa perkawinannya dengan Inggit akan tetap ia pertahannkan. Dengan alasan yang rasional—keinginannya memiliki keturunan ia juga bersikeras untuk menikahi Fatmawati. Ia telah mantap dengan sikapnya itu, “Inggit terlalu baik untuk diceraikan, tidak mungkin aku tega padanya. Sekarang ini saya mendambakan seorang anak dari keturunanku sendiri, sedangkan Inggit tidak dapat memberinya apakah aku salah? (hlm. 258)

Buku yang dikarang oleh Reni Nuryanti ini selalu menarik untuk dibaca. Pemilihan bahasa yang pas, menarik, dan menimbulkan kesan segar itu telah menampik stereotype bahwa karya sejarah selalu tampil kering dan membosankan untuk dibaca.

Penulis setidaknya telah mampu menceritakan hal-hal yang detail terhadap sosok Inggit Garnasih. Bahkan yang menjadi nilai lebih, penulis juga berhasil memanfaatkan sumber lisan yang ia gali langsung dari proses wawancara. Salah satu diantaranya adalah Ratna Juami (anak angkat Sukarno dengan Inggit dan teman sepermainan Fatmawati di Bengkulu) yang mungkin juga cukup tahu banyak tentang seluk beluk kehidupan Sukarno bersama Inggit Garnasih.

Buku ini akan membantu pembaca untuk mengetahui dan memahami sosok Inggit Garnasih dengan segala suka dukanya dalam mengarungi hidup, baik ketika bersama maupun ketika Inggit memilih untuk berpisah dengan Sukarno. Apa pun kekurangannya, buku ini tetap menarik dan penting serta menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk yang otonom dan mandiri serta bisa menjadi kekuatan sejarah.

Arifin Suryo Nugroho

(Resensi ini pernah dimuat dalam Kedaulatan Rakyat, Minggu, 13 Juli 2008)


Friday, September 11, 2009

Mereka Mati, (yang) Tak Sekedar Meninggalakan Nama

Seorang bisa saja mati muda sebagaimana yang dialami manusia-manusia revolusioner dalam buku ini, namun artinya bisa tetap hidup sepanjang jaman. Kematian nampaknya tidak bisa dipandang sebagai akhir dari sebuah perjalanan. Jasad boleh saja tak lagi tampak, namun sebagaimana pernah dikatakan Emanuel Levinas bahwa kematian tidak bisa meniadakan seseorang.

Pun begitu yang diharapkan dengan kehadiran buku ini. Buku ini hendak mempertegas bahwa tidak selamanya orang yang bermakna dalam kehidupan adalah orang yang memiliki banyak waktu untuk hidup. Tetapi mereka yang mampu memanfaatkan waktu untuk terus berproses menggores tinta sejarah tanpa harus menuntut umur panjang. Dalam proses yang tidak pernah mencapai garis finis itulah mereka “terjebak” dalam kedinamisan di dalam pergolakan, gejolak yang terus menerus, suatu kegelisahan abadi dan sama sekali bukan keayeman yang nyaman, tenang dan lengang. Dengan selalu memperbaiki dan responsif mereka “menjadi manusia” di dalam medan proses itu. Seperti dikatakan Walt Whitman, manusia besar selalu lahir dari alam, yaitu dari pengalaman. Manusia-manusia besar di buku ini jelas sudah melewati fase itu.

Di sebuah suratnya, seorang perempuan pribumi anak bupati menulis: “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”. Hanya segelintir yang tahu, kalau Kartini bukan sekadar pelopor emansipasi perempuan, melainkan juga “pengkritik yang tangguh dari feodalisme Jawa dengan segala tetek bengek kerumitannya”, sekaligus juga sebagai “pemula dari sejarah modern Indonesia”.

Kartini memang banyak mengemukakan kekaguman pada kebudayaan Eropa. Hanya saja penting diingat, bahwa Kartini tidak buta dan terpesona habis oleh prestasi bangsa Eropa. Kartini sudah sadar bahwa Eropa bukan satu-satunya pola yang harus diikuti. Ia juga sadar bahwa Eropa bukanlah surga. Adalah luar biasa membayangkan seorang perempuan bumiputera berusia duapuluh (saat Kartini mulai menulis surat-suratnya), yang cuma tamatan Sekolah Rendah, tanpa kesempatan meneruskan sekolah, dan hanya susah payah belajar sendiri, bisa sedemikian maju pikiran, pengetahuan dan kepeloporannya merintis hari esok.

Sepanjang ada penindasan, maka sepanjang itu pula dalam masyarakat muncul perlawanan dan gerakan. Dalam perjalanan waktu sejalan dengan memuncaknya rasa kebangsaan dari awal hingga pertengahan abad XX, semangat-semangat heroisme merasuk dalam perjuangan pemuda-pemuda Indonesia. Keinginan menjadikan bangsa berdaulat menjadi ruh perjuangan, hingga kemudian lahir nama pemuda-pemuda revolusioner semacam Wolter Monginsidi, Supriyadi, hingga Soedirman. Dari ranah sastra, dengan sajak-sajak hero-nya, Chairil menjadi pemantik semangat 45. Sebelum ajal menjemput, di usia yang muda mereka telah menjadi obor perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonialis dari bumi pertiwi.

Lain halnya dengan generasi pemuda yang hidup masa sebaya Wahib, seperti diutarakan oleh penggerak pembaharuan lain, Soe Hok Gie, merupakan manusia-manusia baru―generasi kemerdekaan Indonesia. Generasi-generasi baru ini, seperti diungkap Daniel Dhakidae dalam pengantarnya di buku Catatan Seorang Demonstran :

Mereka bukan orang yang takjub melihat kaki langit baru, yang terkagum-kagum kepada Barat model Sutan Takdir Ali Sjahbana; mereka bukan “pemuda bambu runcing”; mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme setelah penyerahan kedaulatan, dalam mitos-mitos tentang kemerdekaan dan harapan besar terhadap “kejayaan Indonesia di masa depan”; mereka adalah generasi yang dibius oleh semangat “progresif revolusioner” model Soekarno; tetapi terutama generasi inilah yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang, kehancuran kepercayaan kepada generasi-generasi yang terdahulu.

Perjuangan tak pernah berhenti untuk mencipta keadilan di bumi pertiwi. Revolusi diputar ketika situasi normal terhenti dan dihentikan. Munir dengan humanitarianismenya menjadi cahaya bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Nyalinya yang tak menciut menghadapi teror bertubi demi mengawal tegaknya hak-hak kemanusiaan membuat Munir pantas dianugerahi pejuang HAM nomor wahid Indonesia di belakang namanya. Hingga akhirnya “lilin” itu sengaja dipadamkan.

Mereka yang tersebut di atas adalah orang-orang yang mati muda namun meninggalkan warisan-warisan yang hingga kini nyaris tak akan mudah dimusnahkan. Perjalanan hidupnya sangat bermakna sekaligus harum di banyak orang.

Mereka-mereka itu adalah personifikasi dari pikiran-pikiran besar, pikiran-pikiran yang menjawab tantangan-tantangan zamannya, dan pikiran-pikiran yang berusaha menjawab tantangan masa depan. Mereka adalah personifikasi dari keberanian untuk menjadi subjek di dalam sebuah proses perubahan yang panjang, global, dan menentang ketiada-adilan. Mereka adalah simbol yang memperlihatkan bahwa hidup manusia memang terbatas akan tetapi pikiran-pikiran dan karyanya telah melintasi jaman. Meski usia muda belia, mereka telah terobos ruang dan waktu