Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Tahun terbit : Maret, 2009
Penulis : Arifin Suryo Nugroho
Kata Pengantar : Dr. Anhar Gonggong
Srihana-Srihani: Sepenggal Kisah Cinta Sukarno-Hartini
Kisah cinta Sukarno dengan Hartini, memang lain. Situasi negara sudah berubah. Indonesia sudah merdeka. Sukarno sudah menjadi penguasa tertinggi di negara ini. Pandangan pertama di rumah Wali Kota Salatiga begitu mengesankan Sukarno. Sukarno telah menemukan kekasih di kota kecil nan sejuk itu. Hartini telah membuka lembaran di hati Sukarno. Sesampainya di Jakarta, Sukarno menulis surat kepada Hartini yang berada di Salatiga.
“Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.” Melalui orang suruhan Sukarno, surat pendek itu disuruhnya untuk diserahkan Hartini. Menerima surat cinta dari seorang Presiden membuat Hartini bingung bukan kepalang. Ia bagaikan mimpi. Setelah surat pertama itu kemudian disusul lagi dengan telegram dan surat-surat berikutnya dari Sukarno.
Hartini sungguh bingung karena ia pun tahu Sukarno pada waktu itu sudah memiliki Fatmawati sebagai first lady presiden. Ia tidak mau dianggap merusak rumah tangga orang. Apalagi rumah tangga seorang Presiden, sungguh celaka bila hubungan mereka tercium pers. Tetapi bukan Sukarno jika hanya menyerah sampai di situ, ibarat lautan api pun sanggup ia renangi demi mendapatkan cinta Hartini. Surat demi surat ia kirimkan ke Hartini. Untuk menjaga kerahasiaan, Sukarno menggunakan nama samaran Srihana, sedangkan kekasih barunya itu ia namai Srihani.
Pertemuan kedua tampaknya sudah diatur di tahun 1953, empat bulan setelah pertemuan pertamanya. Dalam acara peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan, Hartini berjumpa kembali dengan Sukarno. Beberapa hari kemudian setelah pertemuan keduanya itu, datanglah kembali seseorang ke rumah janda beranak lima ini. Dia adalah Mayor Jendral Suhardjo, teman baik Presiden Sukarno. Orang itu menanyakan bagaimana kalau Hartini sesekali datang ke Jakarta. Seminggu kemudian datanglah sepucuk surat. Pengirimnya menggunakan nama samaran Srihana. Cuplikan surat itu antara lain berbunyi:
Ketika aku melihatmu untuk kali yang pertama, hatiku bergetar.
Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Ttd…. SRIHANA.
Menanggapi hal itu, lebih jauh Hartini tidak mau berkomentar. Ia hanya selalu mengatakan, “Ah, itu kenangan lama. Tapi saya suka nama samaran pemberian Bapak.” (Mengenai isi surat-surat lain yang jumlahnya tak kurang dari 100 pucuk itu, beberapa di antaranya disertakan di dalam buku ini).
Terlepas dari berbagai aral yang melintang, perkawinannya dengan hartini tampaknya telah memberikan kekuatan jiwa tersendiri bagi Sukarno, baik sebagai pribadi maupun sebagai Presiden Republik Indonesia. John D. Legge menulis dalam bukunya Sukarno: Sebuah Biografi Politik, bahwa kehadiran Hartini telah membuka fase baru yang lebih mantap dalam kehidupan Sukarno.
Dengan jelas Legge menulisnya demikian, “Perkawinan Sukarno dengan Hartini, yang dilaksanakan dalam waktu yang kritis, agaknya telah menyediakan bagi Sukarno suatu sumber kekuatan baru. Sekurang-kurangnya Sukarno sendiri mempertalikan keberanian dan keteguhan hatinya dalam menyelesaikan kemelut tahun 1957 itu dengan bantuan kasih sayang yang diberikan Hartini kepadanya. Sesungguhnya, seperti kita lihat Sukarno telah menunjukkan kepercayaan diri, yang kadang-kadang tidak dipunyainya.”
Besarnya cinta, kekuatan jiwa yang diberikan Hartini dalam kehidupan dan psikologis Sukarno, tergambar dengan jelas dalam buku autobiografi Sukarno yang ditulis oleh Cindy Adams. Meskipun hanya singkat Sukarno mengenang, namun maknanya sangatlah dalam. Sukarno berkata demikian:
Dan mengapa aku mengawini Hartini? Alasannya sederhana saja. Alasan pokok telah berlaku jauh sesudah aku tidak ada lagi: aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya. Dan percintaan kami adalah begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal itu.
Srihana-Srihani adalah dua kata yang menyisakan kenangan mendalam bagi Hartini dan Sukarno. Sebagai kenangan percintaan mereka pada 7 Juli 1965, Sukarno secara khusus mempersembahkan sebuah rumah kepada Hartini yang diberi nama Srihana Srihani. Rumah yang dibangun di Jalan Jakarta, Bogor di atas lahan seluas 1.200 meter persegi dan memiliki 16 kamar itu dibangun langsung di bawah pimpinan Ir. Sukarno dengan arsitek Soedarsono. Di tembok samping bagian depan rumah itu, melekat prasasti berwarna keemasan dan tertulis besar; “Srihana Srihani”. Dua prasasti yang hingga kini masih berdampingan, merangkai, melekat membentuk satu-kesatuan makna menghias tembok rumah yang pernah menjadi saksi sejarah kehidupan mereka itu. Di samping suaminya, Hartini selalu ingin tampil sebagai ‘n moedertje, ‘n geliefde, dan ‘n kameraad― ibu, kekasih, dan teman. Dan di buku ini dapat dilihat bahwa Hartini telah membuktikannya di dalam kehidupan pribadi maupun politik Sukarno.
Bagi mereka, Srihana-Srihani seakan telah menjadi legenda Jawa yang melambangkan kisah cinta laki-laki dan perempuan itu.
*) Buku ini berasal dari skripsi penulis di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Telah dilakukan penambahan sumber serta revisi. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Bayu Sukarno (Putra Hartini Sukarno dan Hartini) atas pertemuannya dengan penulis. Ibu Sri Hariswati (Putri Hartini Sukarno dan Suwondo, suami pertama) atas masukan dan saran―dengan nada sesak penuh keharuan―dua bulan setelah buku ini diterbitkan. Dan juga kesediaan wawancara dan penambahan informasi apabila diterbit-ulangkan. Buku ini pula yang mengantar penulis melanjutkan sekolah.
No comments:
Post a Comment